Coretan-coretan Qalam Kelam

Goresan pelampiasan rasa dan bacaan ringan sederhana, setelah diriku
berlari pada Yang Maha Mendekap Hati dan Mendengar Bisikan Nurani

Rabu, 29 Agustus 2018

S E B U A H J A W A B A N


Tentang Waktu dan Sebuah Kisah

satu cerita tentang suatu masa ADALAH SEBUAH JAWABAN.

Sembilan bulan kebelakang aku masih ingat, kala itu aku pernah kehilangan sebuah dompet. Namun anehnya, aku sama sekali tidak merasa panik, karena kuyakin kalau pun hilang, pasti bakalan ketemu lagi. Karena memang Alhamdulillahnya setiap kali aku kehilangan benda-benda berharga, pasti akan diketemukan kembali, bahkan pernah ada yang niat sampai mengembalikannya kerumah (ketika kehilangan STNK). Selain karena alasan itu, mengingat diriku ini seorang pelupa, mungkin juga aku lupa dimana dompet itu kusimpan, makanya rasa panik itu biasa saja tak terlalu mengganggu pikiranku. Sudah bukan hal yang asing lagi, jika ada sesuatu kejadian yang menimpa, aku pasti mengungkapkan perasaan itu lewat "TULISAN" sebagai pelampiasan.

Dengan penuh pengharapan agar dompet itu bisa ditemukan kembali, maka aku posting sebuah fhoto dengan captions seperti ini di instagram milikku: "Terkadang hidup tidak hanya memikirkan tentang bagaimana caranya untuk terus mempertahankan apa yang berada dalam genggaman, akan tetapi belajar perkara keikhlasan dalam melepaskan bila memang harus kehilangan dan bila kamu pernah merasa ada sesuatu yang telah lenyap dari genggaman, maka yakinlah itu bukan berarti Alloh ingin mengambil dan merampasnya darimu, akan tetapi karena Dia ingin menggantikannya untukmu dengan sesuatu yang lebih baik darinya meski harus dengan jalan kehilangan" #edisikehilangandompet.

Tak lama setelah postinganku itu berhasil diunggah, tiba-tiba ada salah satu dari temanku @seranurrizki yang mengirimkan komentar pada postinganku itu, (karena pada hari itu aku lupa tidak menonaktifkan kolom komentar pada postinganku tersebut). Begini ujarnya; A cobain ngikut di @infolombamenulis, barangkali tersalurkan hasil karyanya. Kemudain aku membalasnya; Ah ini hanya sekedar celoteh saja, buat menghibur diri sendiri. Dia pun kembali menambahkan komentarnya dengan menjelaskan bahwa dia juga dulu sering membuat karya tulis, hanya saja waktunya terus terganggu sehingga sering kepending. Lalu aku kembali membalasnya dengan sedikit canda; Oh begitu, terus lanjut dan tingkatkan, biasanya orang yang hobi menulis suka dapat inspirasi dari mana saja, semoga ada inspirasi dari pending-pending itu hahaha, kalau aku menulis hanyalah sekedar membias selaksa rasa lewat semesta kata meski hampa makna #gubrag. Kata-kata itulah yang kiranya ada di kolom komentar tersebut.

Sejenak jika kuingat-ingat kembali, sebenarnya bukan cuma satu atau dua orang saja yang sering menyuruhku atau sekedar menyarankan hal yang serupa, seperti apa yang dikatakan oleh temanku tadi, bahkan lebih dari itu. Namun entahlah, sama sekali aku tak pernah tertarik dengan usulan dan semua saran yang mereka sampaikan, mengingat tulisanku yang masih biasa saja dan juga tulisanku sebatas untuk kalangan pribadi dan diriku sendiri, tak kurang dan tak lebih daripada itu.

Namun dilain sisi, ada juga sebagian dari mereka yang mencoba ingin menguak benang merah dan sisi lain dari goresan tulisan-tulisanku, selain usulan saran agar aku ikut lomba karya tulis atau entah apalah itu namanya, yang sama sekali tidak membuatku tertarik dengannya. Kukira hal ini yang lebih penting dari itu semua, yaitu "SEBUAH JAWABAN" untuk beberapa orang yang dengan rasa penasarannya, mereka telah sering mencoba untuk menelisik dan terus bertanya kepadaku, sejak kapan aku mulai suka "MENULIS" dan menyukai "TULISAN", kemudian apa penyebabnya dan siapakah inspirasinya. Beberapa nama dari mereka yang selalu menelisik dan bertanya tentang hal itu, semuanya tak pernah ada yang mendapatkan satu jawaban yang memuaskan dariku, selain hanya sebuah jawaban yang sederhana yaitu "SENYUMAN DALAM DIAM"

Sekarang, disini lewat sekelumit TULISAN JELEK ini, aku akan mulai mencoba menceritakan penyebab awal aku mulai suka menulis, atau setidaknya hal ini pula yang merupakan alasan mengapa hingga hari ini, aku tak bisa BERHENTI MENULISKAN dengan begitu mudah apa yang bergelayut dalam jiwaku. INILAH JAWABAN dari apa yang selalu mereka tanyakan itu, semoga beberapa nama dari mereka akan membaca tulisan ini hingga hilang rasa penasaran itu.

Dan inilah penuturanku......

Dulu, 18 tahun yang telah berlalu atau sekitar tahun dua ribuan, ketika itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar tepatnya kelas VI (enam), aku pernah memiliki dua orang teman terdekat (mereka kakak-beradik). Kemana pun aku pergi tak pernah merasa sepi karena mereka selalu mengikuti dan dimanapun mereka berpijak selalu ada aku disana, karena aku selalu hadir disampingnya. Bisa dikatakan kalau istilah zaman sekarang kami bertiga bisa disebut "BROMANCE", mengingat kami semuanya adalah laki-laki. Bagiku, mereka tak sekedar temen, terlebih mereka adalah SAHABAT. Bahkan saking dekatnya, banyak orang yang mengatakan kalau aku dengan mereka sudah seperti (adik-kakak) atau saudara sendiri.

Sudah hal biasa, hampir tiap hari aku selalu main bersama mereka, hari-hari tak pernah terlewatkan untuk aku datang tuk sekedar main ke rumah mereka. Orang tua mereka pun sudah tak heran lagi dengan kedatanganku yang hampir setiap hari, bahkan mereka pun sudah tak segan lagi tuk sekedar menyuruhku makan bersama mereka atau sekedar memberikan uang jajan pada diriku, pun sebaliknya aku sudah tak merasa segan lagi terhadap keluarga ini. Entahlah, pokoknya kala itu, rasanya aku sangat senang saat bermain dan berada di rumah mereka. Karena bukan cuma anaknya yang baik padaku sebagai sahabat, namun orang tua mereka pun sangat "welcome" terhadapku.

Lama waktu berlalu, hari terus berganti dan pasir waktu pun terus berjalan tak berhenti, akhirnya lama semakin lama kedekatan & persahabatanku dengan mereka pun semakin erat. Ku lalui hari dengan mereka terasa lebih bermakna. Hingga akhirnya tanpa terasa hampir setahun aku dekat dengan mereka dan mau tak mau, kuyakin kami akan segera berpisah seiring dengan kenaikan kelas yang akan segera kami lalui.

Sampai pada suatu ketika, sudah seperti biasa aku datang main ke rumahnya, namun kali ini, bermain sekaligus kerja kelompok untuk mengerjakan tugas dari sekolah. Aku masih ingat, kalau tak salah kala itu pelajaran matematika dan bahasa indonesia. Semua tugas telah selesai kami kerjakan, kini giliran kami main bareng tuk sekedar berbincang-bincang dan menonton bareng dikamar mereka berdua seperti biasanya. Namun ketika itu, aku memilih untuk tak ikut bergabung dengan mereka dikamar, aku lebih memilih tuk berdiam diri di ruang tamu tempat kami mengerjakan tugas-tugas sekolah tadi, sementara mereka berdua tetap serius nonton bareng di kamarnya. Melihat buku-buku yang masih berantakan, aku justru malah asyik ngotak-ngatik buku pelajaran yang berserakan di lantai itu. Aku coba perhatikan satu persatu buku milik sahabatku, sesekali kubereskan dan kurapihkan sebagian buku itu, lalu aku masukan ke dalam tas yang tergelak tepat dihadapkanku. Dari kamar terdengar suara mereka olehku, sesekali ku menoleh kearah pintu kamar itu. Kembali kusentuh buku milik sahabatku, selembar demi selembar lalu kubuka kembali.

Anehnya, hari itu ada perasaan yang lain, yang tak seperti biasanya, aku merasa bahwa kebersamaan yang aku banggakan ini akan segera hilang dan akan sulit untuk kembali diulang, mengingat perpisahan kelas tinggal dalam hitungan minggu. Saat itu rasa-rasa takut kehilangan mulai menghantui, rasa tak ingin berpisah pun berkecamuk di dalam dada dan banyak lagi kecemasan-kecemasan pada waktu itu, yang intinya "aku seakan tak ingin bila harus berpisah dan ingin selalu dan terus bersama dengan kedua sahabatku itu".

Sesaat aku terdiam, kala itu kulihat ada pulpen berwarna biru, seketika kuraih dan kucoba ambil kembali salah satu buku milik sahabatku dari dalam tas yang telah kubereskan tadi. Tiba-tiba dengan sendirinya, aku goreskan segala rasa yang ada dalam pikiran dan hati nuraniku itu, semuanya tertumpah ruah dalam satu halaman buku milik sahabatku, kala itu aku mengungkapkan perasaanku di buku miliknya sang kakak, karena kebetulan sang kakak lebih dekat denganku dibanding dengan adiknya, sehingga aku lebih berani mencoret-coret buku miliknya.

Sebelumnya aku tak pernah menuliskan perasan dalam secarik kertas, tapi pada hari itu, aku seolah telah terbiasa melakukannya karena kata-kata yang terurai pada buku sahabatku tersebut mengalir apa adanya tanpa dibuat-buat, tanpa mengarang cerita apalagi hanya sekadar kata isapan jempol belaka, atau sekedar basa-basi tanpa makna. Di tulisanku itu, selain aku mengungkapkan rasa takut akan kehilangan dan cemas takkan lagi ada pertemuan panjang setelah kenaikan kelas dan perpisahan itu datang, disana juga hanya tertulis sebuah permohonan tulus dariku agar mereka jangan pernah melupakanku, bila seandainya nanti telah berpisah dan saling berbeda sekolah ketika hendak masuk ke SMP. Itu saja yang kutuliskan pada secarik kertas dalam buku milik sahabatku secara spontanitas.

Waktu itu, betapa aku merasa sangat lega ketika aku usai menuliskan apa yang mengganjal dalam dada, apa yang mengganggu pikiranku dan apa-apa yang aku takutkan akan hadirnya sebuah perpisahan dalam persahabatanku dengan mereka. Setelah semua unek-unek kutuliskan, kugeletakan kembali buku itu di lantai dengan posisi masih terbuka tanpaku menutupnya. Sesaat kubaca kembali berulang kali sepenggal tulisanku tersebut, ada rasa sedikit terharu dan sedikit melankolis kala itu dalam benakku. Aku bergumam dalam benak, "ya sudahlah, nanti juga pasti masih bakalan bisa seperti ini meski sudah saling pisah kala memasuki bangku SMP", walaupun sebenarnya ucapan-ucapan tersebut hanya sekedar tuk menghibur perasaan diriku sendiri, kala itu.

Seusai menggoreskan beberapa tulisan itu, tanpa terasa ketika kutengok jarum jam telah menunjukkan pukul 14.45, tak ada lagi suara mereka yang kudengar berisik dari arah pintu kamar yang masih setengah terbuka itu. Menyadari akan hal itu, tanpa aku membereskan sebagian buku yang masih berantakan dan kutinggalkan catatanku tadi yang masih terbuka di dalam buku milik sahabatku itu, kemudian aku berjalan menuju ke arah kamar kedua sahabatku. Saat aku hendak memasuki kamarnya, ternyata mereka berdua sedang tertidur dengan lelapnya. Niatku ingin bergabung di dalam kamar dengan mereka kuurungkan, melihat mereka berdua sedang tertidur pulas. Dari arah pintu yang setengah terbuka, kutatapi satu persatu garis wajah sahabatku yang sedang terlelap itu dengan penuh rasa hening, sesekali saat kumenatap wajah meraka, aku pun teringat akan kecemasan dan ketakutan yang telah aku tuliskan pada secarik kertas dalam buku milik sahabatku tadi. Sesaat waktu berlalu, aku pun memutuskan untuk bergegas pulang tanpa berpamitan kepada mereka, karena aku tak tega bila harus membangunkan mereka yg sedang tertidur dengan begitu pulas dan lelap.

Ketika itu, tanpa menghiraukan sebagian buku yang masih berserakan, seperti biasa aku bergegas turun ke lantai satu dan berpamitan kepada ibu mereka bahwa aku akan pulang. Hari itu aku berpamitan sendirian kepada sang ibu, tanpa ditemani kedua sahabatku itu (karena bisanya, ketika aku berpamitan pulang pada ibunya, mereka berdua atau salah satu dari mereka selalu ada yang menemaniku). Saat sang ibu menyadari anaknya tak menyertaiku, dia pun menanyakannya kepadaku tentang keberadaan anaknya, aku pun memberitahu padanya bahwa mereka sedang tidur, pun kujelaskan kepada sang ibu bahwa aku tak berani untuk membangunkan mereka, setelah itu lantas aku pamit dan segera bergegas pulang.

Keesokan harinya, saat aku bertemu dengan sahabatku sebelum jam masuk belajar di sekolah, tiba-tiba salah satu dari mereka (sang kakak), dengan wajah yang sedikit menatap tajam dia bertanya kepadaku; Je, kamu kamarin menulis apa dibukuku, soalnya aku melihat ibuku MENANGIS saat membacanya? Mendengar dia bertanya seperti itu, sontak aku merasa terkejut dan heran kenapa ibunya bisa menangis, padahal ditulisan itu aku hanya mengungkapkan rasa ketidakinginan diriku tuk berpisah dengan anaknya sebagai seorang sahabat terbaikku, bukan apa-apa. Dengan sedikit muka memerah aku pun berkata padanya; Emmm, memang kenapa dia bisa menangis, aku malah balik bertanya. Kemudian dia kembali menimpaliku dengan ketus, Iya itu jeje yang nulis, nulis apa coba, sampai-sampai membuat ibuku menangis? ujarnya. Dengan sedikit terbata aku pun kembali menjawabnya; Enggak, aku gak nulis apa-apa, aku cuma menuliskan tentang kebersamaan kita selama berteman, itu saja, ujarku. Mendengar jawaban tersebut, sahabatku pun tak kembali bertanya, pun begitu juga denganku, aku hanya terdiam saja. Hingga pada akhirnya kami pun sama-sama masuk ke ruang kelas.

Waktu itu, aku merasa heran kepada sahabatku ketika dia menanyakan tentang apa yang aku tuliskan, kenapa dia bertanya seperti itu, memangnya dia sendiri tidak membacanya, padahal aku menggoreskan tulisan itu di dalam buku miliknya, logikanya semestinya kan dialah orang pertama yang akan membacanya, bukannya malah ibunya, aneh. Tak henti-hentinya aku terus bertanya-tanya dalam pikiranku kala itu selama berada dalam kelas.

Entahlah....
Apakah dia membacanya atau mungkin sama sekali tidak membacanya, karena aku pun tak berani untuk menanyakan langsung kepada dirinya, apakah dia sudah membaca atau belum membaca tulisanku itu. Namun pada saat itu, yang menjadi pertanyaanku dan ingin kutanyakan langsung kepada sahabatku adalah kenapa tulisanku bisa sampai dibaca oleh ibunya. Selain penasaran, akan tetapi karena aku juga merasa tidak enak kepadanya, karena sang ibu yang baik itu harus menangis karena membaca tulisanku tersebut.

Menjelang waktu istirahat telah tiba, kucoba memutuskan untuk memberanikan diri menanyakan pada kawanku itu, mengapa tulisanku bisa sampai dibaca oleh ibunya, namun kala itu aku tetap tak berani bertanya kepadanya, tentang dirinya apakah dia sendiri sudah membaca tulisanku itu atau belum, karena sebenarnya semua tulisan itu akan lebih baik jika dia yang membacanya, karena isinya memang ditujukan bagi dirinya dan sang adiknya. Saat aku menanyakan hal itu kepada sahabatku, akhirnya diapun bersedia untuk memberitahukannya padaku mengapa tulisan itu malah sang ibunya yang pertama kali membacanya. Hingga pada akhirnya, kudapati alasannya mengapa tulisanku bisa dibaca oleh ibunya, setelah aku dapat info dari sahabatku itu.

Sahabatku menuturkan padaku bahwa; Sore kemarin selepas aku pulang sehabis bermain dari rumahnya, ketika mereka masih tertidur pulas dan aku tak berani membangunkan mereka lantaran aku tak tega, kemudain aku berpamitan pada ibunya lantas aku bergegas segera pulang. Ternyata selepas aku pulang, ibunya naik ke lantai atas tempat biasa kami bermain dan mengerjakan tugas kelompok dari sekolah. Sahabatku melanjutkan kembali penjelasannya; Kemarin kata ibuku, pas ibu naik ke lantai dua, dia melihat buku-buku berantakan di atas meja belajar dan sebagian masih ada yang tergeletak di lantai bekas kami belajar bareng, (karena memang kemarin sebelum aku pulang, aku belum sempat merapihkan semuanya), dia bermaksud ingin membereskan buku-buku milikku yang masih berserakan di lantai dan ingin memasukkan buku-buku itu kedalam tas sekolah milikku, tak sengaja ibuku melihat pada satu buku ada sebuah tulisan, lalu ibuku mencoba membacanya apa yang tertuliskan di buku milikku itu hingga selesai, itu ujar ibuku. Namun kemarin ibuku tak menyadari bahwasannya saat itu aku telah terbangun dari tidurku, kemudian aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, saat ibuku sedang menangis tersedu, ketika dia sedang membaca apa yg kamu tuliskan itu je, ujar sahabatku, menatapku tajam. Ketika itu aku hanya mampu terdiam saat aku mendengarkan dia sedang menjelaskan dengan panjang lebar kepadaku tentang tulisanku itu mengapa justru malah ibunya yang lebih awal membacanya ketimbang dirinya.

Aku merasakan ada hal lain yang tak seperti biasa dari gelagat sahabatku itu saat berbicara, kumerasa ada yang berbeda dari garis wajahnya, dari sorotan matanya saat dia menatapku dan berbincang denganku, seakan dia menggambarkan bahwa dia pun sebenarnya telah membaca dan tahu apa yang telah aku tuliskan itu. Terbaca olehku dari air mukanya saat dia menatapku seakan dia ingin menegaskan pada diriku bahwa: "Dia tak akan pergi kemana-mana, dia akan tetap ada, dia akan tetap menjadi sahabat setia dan dia pun seolah ingin mengatakan kepadaku bahwa pun seandainya nanti kita akan berpisah karena masuk SMP pada sekolah yang berbeda, kita akan tetap seperti ini dan takkan mungkin ada yang berubah diantara kita, kita tetap SAHABAT TERBAIK".

Setelah usai sahabatku menceritakan semunya, tanpa terasa waktu istirahat kami hampir usai dan kami pun harus segera masuk kelas tuk kembali belajar. Namun sebelum mengakhiri pembicaraannya dengaku, sahabatku bilang seperti ini kepadaku: "Je, kata Ibu, kalau kamu mau main ke rumah, main saja ke rumah kapan pun, datanglah anggap saja rumah sendiri, anggap saja kita seperti keluarga tak perlu canggung, karena rumah ibu, pasti akan selalu terbuka untuk jeje" ujarnya seakan dia mengisyaratkan sebuah permohonan. Mendengar sahabatku berucap seperti itu aku hanya terdiam dan tak berkata apa-apa. Menyaksikan aku yang hanya terdiam tak berkata, akhirnya sahabatku pun pamit dan pergi menuju ke ruang kelas. Namun, semenjak kejadian itu, aku justru berbanding terbaik dengan apa yang ibunya harapkan, aku justru menjadi malu untuk datang bermain ke rumahnya.

Sejak saat itu, aku bersedia untuk main ke rumahnya hanya ketika ada tugas kelompok dari sekolah saja, sementara untuk main bersama sahabatku aku mencoba untuk membatasinya, bukan karena apa-apa, akan tetapi karena aku malu, karena tulisanku telah membuat sang ibu sahabatku menangis. Aku sempat berfikir, mungkin sang ibu saat membaca tulisanku, dia terbawa suasana hatinya dan ikut merasakan apa yang aku tulis sehingga dia pun menangis. Padahal ketika itu aku menuliskan apa yang ada bergemuruh di kedalaman rasa, aku biasa saja, tidak sampai menitikan air mata, hanya saja ada sedikit rasa hening dan melankolis, itulah barangkali alasan sang ibu sampai menitikan air matanya, hingga menangis seakan tersedu, saat membaca tulisannya. Wajar saja, kala itu aku merasa melankolis, karena aku tahu kala itu aku akan segera berpisah dengan sahabat terbaikku yang selama itu, mereka bersedia menerima segala kekuranganku dan senantiasa membantuku disaat membutuhkannya. Takkan pernah habis kuuraikan kata, jika aku harus menuliskan tentang segala kebaikan kedua sahabatku disini.

Dari semenjak kejadian inilah aku mulai suka menulis, merasa mudah merangkai kata-kata dan tak sulit mengungkap sebuah rasa. Apa yang kurasa terbias melalui dalamnya kata dan amatlah mudah membiaskan selaksa perasaan lewat semesta perkataan atau berjuta tulisan. Mereka adalah orang-orang pertama yang menginspirasiku, kala itu. Hingga sampai pada saat ini, aku masih bertanya terhadap diriku sendiri, (mengingat inspirasi itu kini telah berubah dan tak lagi sama seperti sediakala) kapankah kebiasaan semacam ini akan segara berakhir. Sejatinya inspirasi itu bisa datang dari siapapun, kapanpun dan dimanapun. Namun ketahuilah merekalah yang paling berperan dan terkenang selama tulisanku terus tergoreskan.

Salam hangat dariku untuk mereka yang tak pernah lagi ada kabar berita, semoga mereka semua dimanapun berada saat ini, perlindungan Tuhan Yang Maha Kuasa akan senantiasa menyertainya.

Semoga TULISAN JELEK ini akan membantu memberikan "SEBUAH JAWABAN" kepada mereka, orang-orang yang selalu menggelitik menanyakan kepadaku, apa alasannya dan kapan aku mulai suka menulis dan menyukai sebuah tulisan.

Sejatinya semua tulisan-tulisanku itu adalah gambaran tentang suasana perasaan dalam benakku, aku hanya bisa menuliskannya lewat beberapa kertas dan hp android yang kumiliki, ketika orang-orang disekitarku sudah tiada lagi yang peka dengan diriku. Segala nasihat dan wejangan dalam tulisanku, semuanya hanya semata aku tunjukan kepada diriku sendiri, tak pernah buat orang lain.

almutakin_
2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar