Coretan-coretan Qalam Kelam

Goresan pelampiasan rasa dan bacaan ringan sederhana, setelah diriku
berlari pada Yang Maha Mendekap Hati dan Mendengar Bisikan Nurani

Minggu, 15 Oktober 2017

RINDU Almarhum Ayah


               
                 Didalam rindu yang terpendam,
                tersimpan PILU yang mendalam.


Tiba-tiba hadir RASA RINDU pada masa itu.

Dulu, sewaktu aku masih kecil dan almarhum bapakku masih ada, kira-kira aku masih duduk dibangku sekolah dasar, entahlah, entah itu masih kelas 1, 2 atau 3, yang pasti antara kelas 1-3, sebab menjelang akhir kelas 4 SD, ayahku telah berpulang keharibaan-Nya. [moga Alm, diterima dan ditempatkan disisi terbaik menurut-Nya, Allohumma Aamiin]. Bahkan saat itu, aku pun masih ingat, adikku @mir_ajrahimmm dia masih berusia 2 tahun.


Ada hal yang selalu aku ingat dimasa kecilku bersama bapak, dan rasanya tak akan mungkin bisa dilupakan sampai kapanpun, disaat aku masih bersama beliau. Aku masih inget sekali ketika dulu, setiap kali dan hampir setiap hari, apabila malam tiba, sesaat sebelum waktu menjelang tidurku, hingga akhirnya aku pulas terlelap, bapakku selalu mendongeng atau bercerita tentang banyak hal kepadaku. Biasanya bpk banyak bercerita tentang cerita-cerita fiktif belaka. Ya, tentunya aku masih ingat dulu ketika beliau menceritakan tentang SAKADANG KUYA JEUNG SAKADANG MONYET, GUNUNG TANGKUBAN PARAHU dan masih banyak lagi cerita lainnya, yang mana  rasanya jikalau harus diceritakan kembali pada zaman sekarang, jangankan kita, toh anak kecil pun pasti sudah banyak yang tidak menyukainya.

Tapi dari sekian banyak dongeng yang bpk ceritakan kepadaku, ada satu cerita yang  sampai saat ini masih teringat pesan yang  disampaikan dalam ceritanya, karena dalam cerita tersebut ada nasehat AGAMA yang terkandung didalamnya, namun aku sampai hari ini gak pernah tahu apakah itu cerita karangan bpk sendiri ataukah bpk dapat dari cerita hikmah yang beliau tahu atau bisa jadi mungkin sebuah atsar. Tapi entahlah, yang pasti disini aku hanya ingin menceritakan kembali sebagai pengingat diri sendiri juga sebagai penawar rindu kepada Almarhum bapakku.

Seperti biasa sebelum menunggu waktu aku terlelap dalam tidurku, bapakku dulu pernah menceritakan tentang kisah ini dengan serius kepadaku Dan dengan khidmat aku pun menyimak apa yang bapak coba ceritakan dalam kisah dibawah ini;


Dulu diceritakan disebuah tempat, tinggallah seorang anak manusia yg banyak melakukan ibadah kpd Alloh dengan sebaik-baiknya, bahkan dia zuhud terhadap segala macan urusan dunia. Dia mengasingkan dirinya hanya untuk melakukan ketaatan kepada Alloh selama hidupnya, kurang lebih peribadatan itu ia lakukan selama 40 tahun lamanya. Singkat cerita, akhirnya dia meninggal dunia.
Saat dikubur si ahli ibadah itu mendapatkan kabar dari malaikat, bahwa kelak dia akan dimasukkan kedalam surga oleh Alloh karena rahmat-Nya, bukan karena amalan yang telah dia lakukan semasa hidupnya. Setelah dia mendengar apa yg disampaikan oleh malaikat kepadanya tadi, Dia pun sontak marah dan protes sejadi-jadinya, hingga akhirnya dia mendapatkan kesempatan protes langsung kepada Alloh dengan idzin-Nya. Dia marah kepada Alloh karena dia merasakan bahwa dia berhak masuk surga karena amalan-amalan yang telah dilakukan selama hidupnya. Dengan pongah dan bangga dia menceritakan seberapa kuat tekad dan letihnya ibadah dia kepada Alloh, namun ia tak mengerti mengapa semua itu tidak cukup menjadikan bekal dirinya untuk mendapatkan surga Alloh yang telah dijanjikan kepadanya. Dia juga memaparkan bagaimana kualitas ibadah dirinya dibandingkan dengan manusia yang lainnya. Dimana dia merasa bahwa ibadahnya "LEBIH BAIK" dari orang lain, kemudian dia juga mengemukakan banyak alasan kepada Alloh tentang apapun yang dapat ia jadikan sebagai hujjah bahwa dirinya memang layak untuk dimasukkan kedalam surga karena amalnya.

Kemudian setelah dia berhenti marah-marah, lalu Alloh bertanya dengan lembut kepadanya "Wahai hamba-Ku, adakah lagi alasan yang ingin engkau kemukakan kepada-Ku, bahwa engkau memang layak untuk mendapati surga-Ku bukan karena rahmat-Ku? Dia tidak menjawab, mungkin karena dia merasa bahwa apa yang dia kemukakan tadi sudah cukup. Karena dia tidak menjawab, Akhirnya kepada sang ahli ibadah itu Alloh melanjutkan kembali seraya berfirman; wahai hamba-Ku, ketahuilah bawasannya, sama sekali kemuliaan-Ku tidak akan bertambah sedikitpun, seandainya seluruh manusia beribadah kepada-Ku melebihi kualitas ibadah yang engkau banggakan tadi, pun demikian sedikitpun tak akan pernah berkurang kemuliaan-Ku, sekiranya tiada satu pun mahkluk di alam yang fana ini tidak beribadah kepada-Ku, sesungguhnya aku tidak membutuhkan makhluk tetapi mahkluklah  yang membutuhkan-Ku. Bukankah diberikan kesempatan untuk hidup dan mengabdikan dirimu kepada-Ku pun adalah sebuah kenikmatan yang patut untuk engkau syukuri? Ketahuilah bahwasanya untuk membalas "KENIKMATAN" ketika engkau sedang MARAH & PROTES kepada-Ku saat kau merasa bahwa ibadahmulah yang layak mengantarkan dirimu ke surga saat ini, maka, semua ibadah yang engkau banggakan tadi, tidaklah akan cukup dan tak akan pernah mampu tuk menutupinya, maka bagaimanakh lagi dengan surga yang memang diperuntukan hanya bagi orang yang Aku rahmati untuk memasukinya? Mendengar firman Alloh tersebut si ahli ibadah pun seketika bersujud menangis dan langsung memohon ampun kepada Alloh atas kesalahannya, hingga pada akhirnya karena kemaha Rahman dan Rahimnya Alloh, si Ahli ibadah itu pun diampuni dan dimasukan kelak ke dlm surga.


Ya, itulah kiranya singkat cerita yang pernah bapakku ceritakan dimasa kecil dulu, cerita itu hingga saat ini masih melekat dalam ingatan. Dari cerita yang bapakku sampaikan tadi, disini aku dapat menarik beberapa kesimpulan bahwa seberapa pun banyak amal dan seberapa pun bagusnya kualitas ibadah kita, tetap saja tak akan pernah sanggup untuk mendapatkan indahnya surga Alloh, jika memang itu tidak atas Rahmat dan izin-Nya semata.

Satu pelajaran lagi bahwa sebaik apapun amal dan ibadah kita, maka jangan pernah merasa bahwa kita lebih baik dari orang lain, sebab itu bisa jadi masuk ke dalam kategori dosa besar dari kesombongan, sebuah sifat yang sangat Alloh benci, layaknya si iblis yang dibenci Alloh, karena enggan bersujud kepada nabi Adam 'Alaihisalam, hingga akhirnya dia diusir dari surga karena merasa lebih baik dari manusia dalam hal penciptaan awal. Kisah itu juga mengingatkanku pada sebuah caption IG entah milik siapa, kalau gak salah @wahyu.nasir yang secara tak sengaja aku membacanya, begini tuturnya: 


Tahajudlah, tapi jangan merasa lebih baik dari yang tak tahajud. Istiqomahlah sholat berjamaah, tapi jangan merasa lebih mulia dari yang sholatnya selalu munfarid. Konsistenlah menjaga hijabmu, tapi jangan pernah meremehkan saudarimu yang belum sempurna dalam menutup auratnya. Berbuat baiklah, tapi jangan merasa lebih baik dari orang lain. Karena bisa jadi dosa "MERASA LEBIH BAIK" itu lebih besar ketimbang pahala kebaikan yang kita kerjakan. Baik saja, tanpa perlu merasa. Aku tahu mengamalkannya sungguh tak mudah. Maka mari saling bantu dg saling doa. Semoga kita tercatat sebagai hamba yang mulia. Agar bisa reuni di surga.
Aamiin.

Catatan untuk mengenang Almarhum ayahku,

Ayah, aku merindukanmu...

Rabu, 19 Juli 2017

AKU MASIH TERLALU MUDA

Pernah ada seorang pemuda begitu rajin merawat dan melayani seorang lelaki tua yang tengah terbaring sakit. Lelaki tua itu tidak lain adalah mertuanya. Sang mertua sesudah belasan tahun menderita sakit. Usianya menginjak tujuh puluhan. Berbagai penyakit, katarak, reumatik, hernia, infamasi prostat, dan seabrek penyakit lainnya sudah lama diidap lelaki tua itu. Sudah 2 kali operasi. Si menantu sendiri terlihat sehat dan kuat. Usianya masih sangat muda. Untuk merawat mertua, ia bahkan ditolong oleh kakak lelakinya yang juga bertubuh sehat, juara karate pula. Keduanya seolah-olah sekadar menanti kematian lelaki tua itu.

Tetapi ajal adalah rahasia ilahi. Bukan orang itu yang meninggal, justru menantunya yang sangat muda dan segar bugar, terlebih dahulu dijemput maut. Selang beberapa bulan, ganti kakaknya si jago karate menyusul ke liang lahat. Keduanya meningal dunia karena penyakit di bagian perut yang selama ini dianggap biasa saja. Niat hendak merawat si tua hingga wafat, justru ia yang terlebih dahulu dirawat jenazahnya ke pekuburan masal.

Kisah ini benar-benar nyata. Realita yang serupa dengan itu pun ternyata amat banyak. Logika awal yang menggambarkan seorang anak menangisi kepergian ibunya yang sudah tua renta, sama nyatanya dengan logika seorang ibu melepaskan kepergian anaknya yang jauh lebih muda. Itu bukan soal hukum pasti, tapi soal takdir yang tidak bisa diganggu gugat. Akhirnya, soal tua, muda, besar, kecil, kuat atau lemah menjadi bukan untuk rumusan untuk mengukur usia manusia. “sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah diatur waktunya. (Ali-Imran : 145)

Sekarang kita menengok realita lain. Ada kalanya kita sulit membuat definisi, saat hal yang didefinisikan sendiri masih sangat controversial. Kata “Muda” bisa disebut sebuah kata yang mengandung sekian kontoversial.

Pertama, seorang yang berusia 70 tahun tetap saja disebut lebih muda jika disandingkan dengan orang berusia 80 tahun. Kedua, soal muda, amat berkaitan dengan jatah usia yang diberikan Allah ta’ala. Kalau seseorang memiliki jatah usia 25 tahun, maka usia 24 tahun baginya merupakan usia yang sudah tua. Karena usia yang tersisa hanya seperduapuluhempat dari usianya yang telah dijalaninya. Orang yang berusia 40 tahun, bisa disebut muda kalau jatah usianya 90 tahun. Ketiga, soal muda juga terkait dengan kondisi tubuh. Adalah memalukan untuk mengaku muda, kalau stamina tubuh, kebugaran, kesegaran kulit, rambut dan tulang serta kesehatan tubuhnya lebih mengenaskan
daripada orang berusia 80 tahun. Ada orang yang usianya sudah kepala delapan, tak ubahnya anak berusia belasan tahun. Keempat, soal muda dan tua juga menjadi relatif bila dilihat dari sudut pengalaman hidupnya. Kelima, muda dan tua juga bisa dinilai dari kemampuan menikmati hidup dan kelezatan duniawi. Keenam, muda dan tua juga bisa ditakar dari status social, sudah berkeluarga atau belum, berapa jumlah anak dan cucunya atau bahkan cicitnya. Ada wanita berumur 27 tahun sudah bercucu. Tapi ada juga yang sudah berusia 80 tahun, jangankan cucu, satupun belum ada anaknya yang sudah menikah. Ketujuh, mungkin setiap zaman dan tempat, standar tua dan muda juga bisa berbeda-beda. Ada satu lingkungan di satu masa tertentu, rata-rata usia kematian diatas sembilan puluh. Ada lagi habitat lain, dimana usia kematiannya rata-rata hanya enam puluh tahun. Perbedaan usia kematian, tantu saja berpengaruh besar pada takaran soal muda dan tua.

Kembali ke soal usia muda. Kita semua tahu, betapa naif anggapan bahwa mudaberarti jauh dari maut. Anggapan itu sering diartikan kesempatan untuk berbuat semaunya, bekerja semaunya, makan, tidur, istirahat semaunya, bermaksiat semaunya, melakukan segala sesuatu seenak dan sebisanya. Ketika Allah mengharamkan maksiat, soal usia muda tidak pernah menjadi alasan untuk berudzur. Karena justru di usia itu, sebagian besar potensi kemanusiaannya mengendap. Di usia itu juga, seharusnya sorang muslim lebih berupaya keras menahan gejolak nafsunya. Karena kegagalan atau keberhasilannya disaat itu, akan menetukan kualitasnya di masa depan. Dalam ungkapam Arab dituturkan, “kondisi terbaik di masa muda adalah mengekang nafsu saat sedang liar liarnya.” Tak terbilang jumlah orang-orang yang menyesal di masa tua, kerena demikian miskin sesungguhnya di masa mudanya. Rasa sesal itu kerap muncul menjadi sebuah petuah “Mumpung masih muda, kamu harus banyak belajar, jangan seperti saya dulu”. "Saat muda seperti sekarang mestinya kamu bersungguh-sungguh. Kalau sudah tua kayak saya ini, apalah yang bisa kamu lakukan nanti?”. Ungkapan penyesalan itulah yang justru amat berguna buat dirinya, dan juga buat orang-orang yang dia beri petuah. Ungkapan rasa sesal itu akan membuka tabir realita bahwa amatlah bodoh membiarkan masa muda berlalu dalam ketidakpastian, atau bahkan dalam kubangan dosa dan maksiat. “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeming di hari kiamat nanti, sebelum ia dimintai pertanggungjawaban atas 4 hal : atas masa mudanya, untuk apa saja dihabiskan, atas usianya, untuk apa saja digunakan, atas harta bendanya, dari mana saja dicari dan kemana saja dibelanjakan, lalu ilmunya, untuk apa saja diamalkan.” (HR.Ath Thabrani dalam Al-Mu’ajamul Ausath)

Masa muda adalah bagian dari usia manusia. Lebih dari itu Allah juga meminta pertanggungjawaban atas masamuda secara khusus. Itu menunjukan, betapa masa muda memiliki catatan tersendiri dalam hidup seseorang. Masa muda menjadi titik tolak eksistensi kemanusiaan dan kehambaan di masa depan.

Orang tua merenungi nasib dan kenangan hidupnya sudah pasti wajar. Namun seorang anak muda yang masih berdarah panas, saat nafsunya sedang bergolak di puncaknya, lalu ia melakukan perenungan terhadap kehidupannya, pengabdian apa yang sudah dia persembahkan kepada Allah, dan berapa banyak sudah maksiat yang digelutinya, sungguh sebuah keistimewaan. Sungguh kita sangat wajib memiliki keistimewaan itu. Karena diluar keistimewaan itu hanya kehinaan belaka.
Sudah saatnya kita lebih memahami betapa hebatnya rahasia takdir, dan betapa dahsyatnya rahasia ajal. Semua pengalaman dan realita seharusnya mengajarkan bagi kita, bahwa tidak boleh bermain-main dengan ikhtiar. Kita harus sangat menyadari bahwa akhir hidup, tak peduli di usia muda atau tua, menentukan tampat kembali di akhirat kelak. Bila itu dipahami dengan baik, akan jadi pelajaran yang amat berharga.

(-read; buku “Dalam Selimut Kabut Maksiat” penerbit Rumah Dzikir oleh Ust.
Abu Umar Basyir)